Kamis, 06 Januari 2011

Gender dalam Media


A.    Televisi

Kehadiran berbagai stasiun televisi swasta di Indonesia merupakan konsekuensi logis dari era globalisasi yang tengah melanda dunia. Era yang antara lain ditandai dengan semakin luasnya hak-hak pemirsa untuk mengakses berbagai sumber informasi tersebut, telah melahirkan berbagai peluang sekaligus tantangan bagi pembangunan di Indonesia.
    Era globalisasi terbukti telah membuka berbagai kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk mengikuti arus perubahan dunia secara lebih cepat. Kehadiran stasiun-stasiun televisi telah mempermudah terjadinya penyebaran informasi secara lebih merata yang pada gilirannya nanti diharapkan akan mempercepat arus perubahan sosial sebagaimana diinginkan. Pada sisi lain kita tidak dapat memandang ringan dampak negatif yang diakibatkan oleh tantangan televisi yang tidak terseleksi dengan baik. Di antara berbagai keluhan mengenai dampak buruk dari kehadiran televisi. Berbagai studi memperlihatkan bahwa iklan telah mendorong konsumerisme secara besar-besaran diberbagai lapisan kelompok umur.
     Dampak buruk iklan televisi antara lain disebabkan karena berbagai stereotipe yang diciptakan iklan itu sendiri, yang akan melahirkan semacam peneguhan (reinforcement). Gambaran keliru tersebut akan sangat meluas penggunaannya dalam berbagai bidang pembangunan termasuk upaya pemasyarakatan konsep gender yang dewasa ini tengah digalakkan. Konsep yang pada intinya menekankan pada upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan melalui pendekatan kemitrasejajaran laki-laki-perempuan tersebut, seharusnya memperoleh momentum melalui media elektronika TV, tetapi kenyataannya memperlihatkan gambaran yang agak berbeda; iklan televisi diduga mendorong peneguhan gambaran tentang peranan perempuan yang lebih bersifat domestik. Gambaran keliru tentang peranan perempuan tersebut secara langsung akan berbahaya bagi perkembangan anak-anak dan remaja yang mengkonsumsi iklan tersebut. Secara psikologis, anak-anak dan remaja merupakan kelompok yang tengah membentuk kepribadiannya. Pembentukan kepribadian tersebut antara lain dibentuk melalui berbagai pengalaman pribadi mereka termasuk tayangan iklan televisi.
    Dalam strategi pemasaran modern, keberadaan iklan sudah menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari demi sebuah produk yang ditawarkan agar mendapat tempat di hati masyarakat. Dalam strategi pemasaran moderen, iklan yang tersaji dalam media massa pada umumnya dapat dianggap sebagai medium penyadaran khalayak tentang suatu produk. Permpuan adalah objek yang selama ini paling menarik untuk “digarap” oleh media. Sebuah penelitian di Amerika menunjukkan 150 lebih produk tercipta dari ujung rambut hingga ujung kaki perempuan. Sebuah studi tentang perempuan dalam iklan majalah memberikan rumusan tentang konsep citra perempuan yang muncul dalam iklan. Konsep tersebut adalah: citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, dan citra pergaulan (Tomagola, 1998). Secara rinci kelima rumusan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a)    Pigura; digambarkan sebagai mahluk yang harus memikat dengan ciri-ciri biologisnya seperti: buah dada, pinggul, dan ciri-ciri keperempuanan yang dibentuk oleh budaya; seperti rambut, panjang betis, dan lain-lain.
b)    Pilar; digambarkan sebagai pilar pengurus utama keluarga; pengurus rumah tangga, dan wilayah tanggung jawabanya dalam rumah tangga. Dalam hal ini perempuan bertanggung jawab terhadap keindahan fisik rumah suaminya, pengelolaan sumber daya rumah, dan anak-anak.
c)    Peraduan; citra ini menganggap perempuan sebagai obyek seks atau pemuasan laki-laki. Seluruh kecantikan perempuan (kecantikan alamiah maupun buatan) disediakan untuk dikonsumsi laki-laki) seperti menyentuh, memandang, dan mencium. Kepuasan laki-laki adalah kepuasan perempuan yang merasa dihargai. Bagian tubuh yang dieksploitir adalah betis, dada, punggung, pinggul dan rambut.
d)    Pinggan; perempuan digambarkan sebagai pemilik kodrat, setinggi apapun pendidikannya atau penghasilannya, kewajibannya tetap di dapur.
e)    Pergaulan; perempuan digambarkan sebagai mahkluk yang dipenuhi kekhawatiran tidak memikat, tidak tampil menawan, tidak bisa dibawa ke muka umum, dll

B.Film

Perempuan masih menjadi objek sebagai suatu daya tarik, untuk melariskan suatu produk. Demikian juga film, “memanfaatkan” ataupun mengeksploitasi tubuh perempuan untuk mendatangkan suatu profit. Film boleh jadi merupakan bagian yang sangat lekat dengan keseharian kita. Informasi, hiburan dan pendidikan bisa kita dapatkan hanya dengan melalui melalui tayangan televisi atau pun film. Namun tak jarang film juga menyuguhkan tayangan yang menyesatkan. Miris sekali memang dengan kondisi ini. Lihat saja film-film remaja, seperti : Virgin, Me vs High Heels, dll, yang menggambarkan pola hidup dan pergaulan remaja Indonesia zaman sekarang. Dandanan modis serba ketat dan mini, diwarnai pergaulan remaja yang semakin bebas. Hal ini tentunya Sangat tidak sesuai dengan budaya ketimuran. Budaya masyarakat indonesia. Yang menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan.

  Contoh film yang berimplikasi ketidakadilan gender :

   Perempuan Berkalung Sorban

Film ini menceritakan perjuangan seorang perempuan bernama Annisa (Revalina S Temat) di pesantren Al-Huda di Jawa Timur milik ayahnya Kiai Hanan (Joshua Pandelaky) pada tahun 1984. Annisa kecil (Nasya Abigail) memiliki naluri pemberontak terhadap diskriminasi gender yang terjadi di dalam pesantren orang tuanya. Keinginannya untuk belajar menunggang kuda dan terpilih menjadi ketua kelas, justru tidak direstui disebabkan dia seorang perempuan. Annisa merasa tak nyaman dengan lingkungan pesantren dan keluarganya karena selalu menyampingkan statusnya sebagai perempuan dengan alasan syariat Islam. Setelah menyelesaikan pendidikan di Pesantren al-Huda, Annisa memutuskan untuk melamar beasiswa di sebuah Universitas Islam di Yogyakart. Namun, Annisa mendapat garis lain dalam hidupnya yaitu masuk ke dunia pernikahan. Annisa dijodohkan dengan Samsudin (Reza Rahadian) anak seorang kiai yang membantu pesantren Al-Huda. Annisa menerima perjodohan ini dengan syarat dia diizinkan untuk meneruskan pendidikan. Sayangnya, keinginan kuat untuk sekolah itu hanya angan-angan, dunia pernikahan ternyata tidak membawanya kepada kebahagiaan. Annisa mendapatkan "neraka" kehidupan rumah tangga karena perbuatan kasar dan tekanan yang dilakukan sang suami. Tak hanya perlakuan kasar yang didapatkan, Annisa juga dipoligami, bahkan hidup satu rumah dengan istri kedua bernama Kalsum (Francine Roosenda). Annisa tak bisa berbuat apa-apa karena referensi-referensi kitab arab (Islam) klasik selalu dijadikan suami dan keluarganya untuk membungkam pemberontakan Annisa. Annisa akhirnya bercerai dengan suaminya dan memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta. Di kota ini Annisa mulai memperlihatkan bakatnya sebagai penulis. Dia bekerja di sebuah kantor konsultan dan menjadi konsultan andal. Annisa kemudian menikah dengan Khudori (teman kecilnya yang merupakan alumni al-Azhar Cairo) dan kembali ke Al-Huda dengan membawa buku-buku karyanya.Tidak lama bersuami, ia pun menjanda lagi akibat suaminya tewas karena kecelakaan lalu lintas, namun, ia tidak putus
asa. Meski di pesantren itu terdapat larangan membaca buku yang berbau dunia luar, dan komunitas pesantren membakar buku-buku atas perintah pimpinan, tapi Annisa tetap gigih memperjuangkan kesetaraan gender sampai akhirnya ia dapat membuat perpustakaan di pesantren Al-Huda. Potret Gender Unequality Setelah mencermati tayangan yang hampir berdurasi dua jam ini, paling tidak terdapat empat kategori ketidakadilan gender yang digambarkan, yaitu pertama, Underistemation. Di dalam film ini, seorang Annisa (sebagai seorang pejuang gender) tidak mempersoalkan kenapa ada manusia yang berjenis laki-laki dan perempuan, namun yang dipersoalkannya adalah mengapa persoalan biologis harus melahirkan ketidakadilan gender yang tidak pada tempatnya. Perempuan dikebiri untuk berkembang, bahkan menjadi ketua kelas sekalipun.

               Oleh: Gustia Tahir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin 

C.  Buku / novel

    Dalam novel Perempuan Jogja karya Achmad Munif  menunjukkan bahwa; (1) marginalisasi direpresentasikan dalam bentuk pemiskinan perempuan dengan cara pelarangan untuk bekerja, serta penjualan perempuan usia muda dalam bentuk prostitusi; (2) subordinasi direpresentasikan dalam lingkup domestik (keluarga), dengan bentuk kaum lelaki bebas untuk menentukan dan memilih apa yang diinginkan baik dalam pendidikan, pekerjaan, perkawinan, dan sebagainya. Sedangkan perempuan tidak diberi kebebasan yang sama; (3) stereotipe yang ada mengindikasikan bahwa perempuan memiliki sifat penggoda, lemah, emosional, dan tidak rasional; (4) sementara kekerasan terhadap perempuan direpresentasikan dalam bentuk kekerasan fisik, mental, dan seksual

Translate

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons