Senin, 24 Oktober 2011

Teori Feminisme

1.    Feminisme liberal

Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “di dalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.[1]
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

2.    Feminisme radikal

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “di dalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.[2]
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

3.    Feminisme post modern

Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

4.    Feminisme anarkis

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

5.    Feminisme Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.

6.    Feminisme sosialis
 

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendakmengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

7.    Feminisme postkolonial 

Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”

8.    Feminisme Nordic 

Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktik-praktik yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara.

Sabtu, 25 Juni 2011

Gender dan Hukum

Dalam Era keterbukaansepertisekarangini, Sistem Hukum Nasional belumlah tertata secara menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama, hokum adat serta memperbaharui ataupun menyempurnakan peraturan-peraturan warisan hokum colonial maupun hokum nasional yang diskriminatif, sehingga masih dirasakan adanya Ketidakadilan Gender, kenyataan yang terjadipada proses penegakan dan penyelesaian masalah hokum terdapat keadaaan dimana kepentingan perempuan menjadi termarjinalkan, padahal sesungguhnya dalam teori hokum kepentingan tidaklah berlaku subyektif.
Mengenai hukum nasional Indonesia yang diskriminatif, pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Wanita tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan sejak 21 tahun yang lalu, tepatnya dengan UU No. 7 tahun 1984. Kemudian barulah dilakukan harmonisasi menjadi landasan hukum dari UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya konsistensi dari penegak hukum dalam upaya mewujudkan keadilan berperspektif gender, hal ini dikarenakan banyak produk undang-undang seperti pelaksanaan UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT yang merupakan bagian dari Konvensi Wanita hendaknya perlu dimengerti lebih dalam oleh para penegak hukum, khususnya para hakim dan memahami pula latar belakang pengertian kekerasan terhadap perempuan, sehingga hakim belum berperan dalam memutuskan perkara-perkara yang berbasis gender, selain itu agar para hakim dapat lebih berperan dalam memutuskan perkara-perkara yang berbasis gender dan  dapat lebih berperan dalam mewujudkan keadilan gender. Walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
Sampai saat ini, memang belum banyak aparat hukum di Indonesia yang paham perspektif gender. Aparat hukum kita sangat terikat hokum pidana yang lebih condong melindungi pelaku, bukan korban.

Kamis, 06 Januari 2011

Gender dalam Media


A.    Televisi

Kehadiran berbagai stasiun televisi swasta di Indonesia merupakan konsekuensi logis dari era globalisasi yang tengah melanda dunia. Era yang antara lain ditandai dengan semakin luasnya hak-hak pemirsa untuk mengakses berbagai sumber informasi tersebut, telah melahirkan berbagai peluang sekaligus tantangan bagi pembangunan di Indonesia.
    Era globalisasi terbukti telah membuka berbagai kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk mengikuti arus perubahan dunia secara lebih cepat. Kehadiran stasiun-stasiun televisi telah mempermudah terjadinya penyebaran informasi secara lebih merata yang pada gilirannya nanti diharapkan akan mempercepat arus perubahan sosial sebagaimana diinginkan. Pada sisi lain kita tidak dapat memandang ringan dampak negatif yang diakibatkan oleh tantangan televisi yang tidak terseleksi dengan baik. Di antara berbagai keluhan mengenai dampak buruk dari kehadiran televisi. Berbagai studi memperlihatkan bahwa iklan telah mendorong konsumerisme secara besar-besaran diberbagai lapisan kelompok umur.
     Dampak buruk iklan televisi antara lain disebabkan karena berbagai stereotipe yang diciptakan iklan itu sendiri, yang akan melahirkan semacam peneguhan (reinforcement). Gambaran keliru tersebut akan sangat meluas penggunaannya dalam berbagai bidang pembangunan termasuk upaya pemasyarakatan konsep gender yang dewasa ini tengah digalakkan. Konsep yang pada intinya menekankan pada upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam pembangunan melalui pendekatan kemitrasejajaran laki-laki-perempuan tersebut, seharusnya memperoleh momentum melalui media elektronika TV, tetapi kenyataannya memperlihatkan gambaran yang agak berbeda; iklan televisi diduga mendorong peneguhan gambaran tentang peranan perempuan yang lebih bersifat domestik. Gambaran keliru tentang peranan perempuan tersebut secara langsung akan berbahaya bagi perkembangan anak-anak dan remaja yang mengkonsumsi iklan tersebut. Secara psikologis, anak-anak dan remaja merupakan kelompok yang tengah membentuk kepribadiannya. Pembentukan kepribadian tersebut antara lain dibentuk melalui berbagai pengalaman pribadi mereka termasuk tayangan iklan televisi.
    Dalam strategi pemasaran modern, keberadaan iklan sudah menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari demi sebuah produk yang ditawarkan agar mendapat tempat di hati masyarakat. Dalam strategi pemasaran moderen, iklan yang tersaji dalam media massa pada umumnya dapat dianggap sebagai medium penyadaran khalayak tentang suatu produk. Permpuan adalah objek yang selama ini paling menarik untuk “digarap” oleh media. Sebuah penelitian di Amerika menunjukkan 150 lebih produk tercipta dari ujung rambut hingga ujung kaki perempuan. Sebuah studi tentang perempuan dalam iklan majalah memberikan rumusan tentang konsep citra perempuan yang muncul dalam iklan. Konsep tersebut adalah: citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, dan citra pergaulan (Tomagola, 1998). Secara rinci kelima rumusan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a)    Pigura; digambarkan sebagai mahluk yang harus memikat dengan ciri-ciri biologisnya seperti: buah dada, pinggul, dan ciri-ciri keperempuanan yang dibentuk oleh budaya; seperti rambut, panjang betis, dan lain-lain.
b)    Pilar; digambarkan sebagai pilar pengurus utama keluarga; pengurus rumah tangga, dan wilayah tanggung jawabanya dalam rumah tangga. Dalam hal ini perempuan bertanggung jawab terhadap keindahan fisik rumah suaminya, pengelolaan sumber daya rumah, dan anak-anak.
c)    Peraduan; citra ini menganggap perempuan sebagai obyek seks atau pemuasan laki-laki. Seluruh kecantikan perempuan (kecantikan alamiah maupun buatan) disediakan untuk dikonsumsi laki-laki) seperti menyentuh, memandang, dan mencium. Kepuasan laki-laki adalah kepuasan perempuan yang merasa dihargai. Bagian tubuh yang dieksploitir adalah betis, dada, punggung, pinggul dan rambut.
d)    Pinggan; perempuan digambarkan sebagai pemilik kodrat, setinggi apapun pendidikannya atau penghasilannya, kewajibannya tetap di dapur.
e)    Pergaulan; perempuan digambarkan sebagai mahkluk yang dipenuhi kekhawatiran tidak memikat, tidak tampil menawan, tidak bisa dibawa ke muka umum, dll

B.Film

Perempuan masih menjadi objek sebagai suatu daya tarik, untuk melariskan suatu produk. Demikian juga film, “memanfaatkan” ataupun mengeksploitasi tubuh perempuan untuk mendatangkan suatu profit. Film boleh jadi merupakan bagian yang sangat lekat dengan keseharian kita. Informasi, hiburan dan pendidikan bisa kita dapatkan hanya dengan melalui melalui tayangan televisi atau pun film. Namun tak jarang film juga menyuguhkan tayangan yang menyesatkan. Miris sekali memang dengan kondisi ini. Lihat saja film-film remaja, seperti : Virgin, Me vs High Heels, dll, yang menggambarkan pola hidup dan pergaulan remaja Indonesia zaman sekarang. Dandanan modis serba ketat dan mini, diwarnai pergaulan remaja yang semakin bebas. Hal ini tentunya Sangat tidak sesuai dengan budaya ketimuran. Budaya masyarakat indonesia. Yang menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan.

  Contoh film yang berimplikasi ketidakadilan gender :

   Perempuan Berkalung Sorban

Film ini menceritakan perjuangan seorang perempuan bernama Annisa (Revalina S Temat) di pesantren Al-Huda di Jawa Timur milik ayahnya Kiai Hanan (Joshua Pandelaky) pada tahun 1984. Annisa kecil (Nasya Abigail) memiliki naluri pemberontak terhadap diskriminasi gender yang terjadi di dalam pesantren orang tuanya. Keinginannya untuk belajar menunggang kuda dan terpilih menjadi ketua kelas, justru tidak direstui disebabkan dia seorang perempuan. Annisa merasa tak nyaman dengan lingkungan pesantren dan keluarganya karena selalu menyampingkan statusnya sebagai perempuan dengan alasan syariat Islam. Setelah menyelesaikan pendidikan di Pesantren al-Huda, Annisa memutuskan untuk melamar beasiswa di sebuah Universitas Islam di Yogyakart. Namun, Annisa mendapat garis lain dalam hidupnya yaitu masuk ke dunia pernikahan. Annisa dijodohkan dengan Samsudin (Reza Rahadian) anak seorang kiai yang membantu pesantren Al-Huda. Annisa menerima perjodohan ini dengan syarat dia diizinkan untuk meneruskan pendidikan. Sayangnya, keinginan kuat untuk sekolah itu hanya angan-angan, dunia pernikahan ternyata tidak membawanya kepada kebahagiaan. Annisa mendapatkan "neraka" kehidupan rumah tangga karena perbuatan kasar dan tekanan yang dilakukan sang suami. Tak hanya perlakuan kasar yang didapatkan, Annisa juga dipoligami, bahkan hidup satu rumah dengan istri kedua bernama Kalsum (Francine Roosenda). Annisa tak bisa berbuat apa-apa karena referensi-referensi kitab arab (Islam) klasik selalu dijadikan suami dan keluarganya untuk membungkam pemberontakan Annisa. Annisa akhirnya bercerai dengan suaminya dan memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta. Di kota ini Annisa mulai memperlihatkan bakatnya sebagai penulis. Dia bekerja di sebuah kantor konsultan dan menjadi konsultan andal. Annisa kemudian menikah dengan Khudori (teman kecilnya yang merupakan alumni al-Azhar Cairo) dan kembali ke Al-Huda dengan membawa buku-buku karyanya.Tidak lama bersuami, ia pun menjanda lagi akibat suaminya tewas karena kecelakaan lalu lintas, namun, ia tidak putus
asa. Meski di pesantren itu terdapat larangan membaca buku yang berbau dunia luar, dan komunitas pesantren membakar buku-buku atas perintah pimpinan, tapi Annisa tetap gigih memperjuangkan kesetaraan gender sampai akhirnya ia dapat membuat perpustakaan di pesantren Al-Huda. Potret Gender Unequality Setelah mencermati tayangan yang hampir berdurasi dua jam ini, paling tidak terdapat empat kategori ketidakadilan gender yang digambarkan, yaitu pertama, Underistemation. Di dalam film ini, seorang Annisa (sebagai seorang pejuang gender) tidak mempersoalkan kenapa ada manusia yang berjenis laki-laki dan perempuan, namun yang dipersoalkannya adalah mengapa persoalan biologis harus melahirkan ketidakadilan gender yang tidak pada tempatnya. Perempuan dikebiri untuk berkembang, bahkan menjadi ketua kelas sekalipun.

               Oleh: Gustia Tahir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin 

C.  Buku / novel

    Dalam novel Perempuan Jogja karya Achmad Munif  menunjukkan bahwa; (1) marginalisasi direpresentasikan dalam bentuk pemiskinan perempuan dengan cara pelarangan untuk bekerja, serta penjualan perempuan usia muda dalam bentuk prostitusi; (2) subordinasi direpresentasikan dalam lingkup domestik (keluarga), dengan bentuk kaum lelaki bebas untuk menentukan dan memilih apa yang diinginkan baik dalam pendidikan, pekerjaan, perkawinan, dan sebagainya. Sedangkan perempuan tidak diberi kebebasan yang sama; (3) stereotipe yang ada mengindikasikan bahwa perempuan memiliki sifat penggoda, lemah, emosional, dan tidak rasional; (4) sementara kekerasan terhadap perempuan direpresentasikan dalam bentuk kekerasan fisik, mental, dan seksual

Translate

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons